Selasa, 04 Desember 2012

Makanan HALAL & TOYIB




MAKAN MAKANAN HALALAN TOYIBAN

QS. Al Baqarah (2) : 168. "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu."

Apakah yang disebut dengan makanan halalan toyiban?

Makanan yang kita konsumsi sehari hari harus makanan yang halal dan baik untuk kesehatan tubuh kita. Makanan yang halal telah ditentukan sesuai  tuntunan syar’i baik al-Qur'an maupun as-Sunnah. Sedangkan makanan yang toyib adalah makanan yang baik jika dikonsumsi oleh tubuh kita.

Daging kambing/ayam halal hukumnya, namun belum tentu toyib/baik jika dikonsumsi oleh penderita kolesterol/ darah tinggi.
Emping, kangkung adalah halal, namun tidak baik jika dikonsumsi oleh orang dengan asam urat.
Gula, mangga, dll adalah halal, tapi tidak baik dikonsumsi oleh penderita gula darah tinggi
Begitu juga yang lainnya makanan yang halal, akan tidak baik jika dikonsumsi secara berlebihan.

Jadi makanan yang halal belum tentu thayib, setiap orang memiliki keadaan yang dapat berbeda dengan lainnya. Baik untuk anda tapi ternyata tidak baik untuk teman anda, dan sebaliknya. Makanan HALAL DAN TOYIB tidak dapat dipisahkan, melainkan satu rangkaian yang harus diperhatikan.

BAGAIMANA JIKA MAKANAN TOYIB TAPI TIDAK HALAL?

Allah Swt. telah mengharamkan bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah, hewan yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan pula hewan yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Hal tersebut telah dijelaskan Allah swt. dalam QS. Al Maidah (5) : 3.

Orang non muslim terbiasa makan daging babi, daging ayam yang tanpa disembelih, hewan yang mati tercekik, tertanduk, dll. Kenyataannya mereka tetap sehat. Artinya daging babi toyib, menyehatkan, mengandung gizi/ zat yang diperlukan oleh tubuh untuk sehat. Daging babi tersebut baik dikonsumsi oleh manusia. Tetapi bagi umat muslim daging babi, darah dll, tersebut dilarang dikonsumsi karena larangan Allah secara langsung dalam nash al-Qur'an. Ada anggapan bahwa babi dilarang karena mengandung cacing pita sehingga membahayakan bagi tubuh. Lalu bagaimana jika daging babi bebas dari cacing pita? sehingga aman dikonsumsi manusia? Yang jelas daging babi dilarang Allah swt. tidak terkait dengan cacing pita dll. Ada tidaknya cacing pita daging babi tetap haram. Begitu juga yang lainnya, misal darah, hewan tercekik dll. 

Coba kita perhatikan pula, daging binatang yang sengaja disembelih untuk berhala, untuk orang mati, untuk persembahan pada yang selain Allah, meskipun disembelih dengan cara yang baik, diolah atau dimasak dengan baik, tentu saja lezat, bergizi, tidak ada masalah bagi tubuh ketika dimakan. Namun hukum memakan daging tersebut adalah HARAM, karena makanan tidak cukup hanya sekedar TOYIB, namun yang lebih penting lagi juga harus HALAL.

Kesimpulannya, Kita umat muslim tidak boleh makan makanan yang toyib/ dianggap baik saja, namun makanan yang kita konsumsi juga harus halal. Halal dan toyib, keduanya tidak boleh dipisahkan, melainkan satu kesatuan.

Wallahu a’lam.

Shalat Jum'at



“Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan” . QS. ‘Abasa (80) : 11

Ajaran-ajaran Allah merupakan peringatan bagi manusia, jika kita mau mempelajarinya, mengambil hikmah dari setiap kisah dalam al-Qur'an, mempelajari asbabul nuzul ayat-ayat al-Qur'an, maka akan kita dapati pelajaran-pelajaran yang sangat berharga, yang dapat membuka wawasan yang benar, sekaligus dapat meluruskan kekeliruan-kekeliruan yang sudah terlanjur terjadi dalam kehidupan masyarakat selama ini.

KEWAJIBAN SHALAT JUM’AT

Pada hari ketika sedang didirikan jama’ah Jum’at, ketika Rasulullah saw. sedang berkutbah, tiba-tiba ketika khutbah sedang berlangsung, datanglah serombongan kabilah/pedagang yang membawa barang-barang dagangan. Melihat itu maka para jama’ah Jum’at berhamburan keluar masjid, menuju kabilah/ para pedagang untuk melakukan perdagangan sesuai dengan keperluannya. Hingga tersisa hanya 12 (dua belas) jama’ah saja yang tetap mengikuti kutbah hingga shalat Jum’at berakhir.
Dari kejadian ini maka turunlah QS. Al Jumuah (62) : 9

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.

[] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.

Hikmah dari kejadian ini diantaranya:
-          (1) Menyebabkan turunnya wahyu tentang wajibnya shalat Jum’at (bagi laki-laki)
-          (2) Wajib meninggalkan/menghentikan perniagaan/jualbeli/aktifitas lainnya untuk menunaikan kewajiban shalat Jum’at
-          (3) Rasulullah tetap meneruskan Jum’atan walaupun jamaahnya hanya 12 (duabelas) orang. Hal ini menjadi  dalil tentang sahnya shalat Jum’at walaupun jumlah jama’ahnya kurang dari 40 (empat puluh) orang, sebagaimana madhab Syafi’i mensyaratkannya. 
      Wallahu a'lam.

Minggu, 02 Desember 2012

Bapakku vs Suamiku


PERSELISIHAN SUAMI-ORANGTUA


Kemana Saya Harus Berpihak?

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhullah ditanya sebagai berikut:

Telah terjadi perselisihan dalam keluarga kami antara suami saya dan orang tua saya dalam masalah dunia. Saya ingin memihak pada keluarga saya karena menaati kedua orang tua dan berbuat baik kepada keduanya merupakan sebentuk ketaatan kepada Allah swt.

Namun saya tidak melakukan itu, karena saya mengetahui beberapa hadits yang tidak saya ketahui derajatnya diantaranya:
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya”.
Juga hadits:
“Allah swt. tidak akan ridha kepada seorang wanita sampai suaminya ridha kepadanya”.

Sebenarnya saya sudah berusaha untuk mendamaikan keduanya, namun belum berhasil, mohon nasihat Syaikh, kemana saya harus berpihak?

Saya takut membuat orang tua saya marah dan membuat Allah swt. murka. Tapi saya juga tidak berani membuat suami saya marah dan menjadi istri yang tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada suami.

Saya mohon juga agar Syaikh berkenan memberikan nasihat kepada mereka! Semoga nasihat Syaikh bermanfaat bagi mereka.

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhullah menjawab:

Hak orang tua terhadap anaknya sudah tidak diragukan lagi akan wajibnya. Itu merupakan hak yang sangat ditekankan. Menaati keduanya dalam hal ma’ruf (kebaikan) dan berbuat baik kepada keduanya, telah diperintahkan oleh Allah swt dalam banyak ayat (misal QS. Al-Isra: 23). Begitu juga dengan hak suami, itu juga merupakan hak yang wajib ditunaikan.
Hadits “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya”. Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan hadits ini shahih, dikeluarkan oleh at-Thabrani.

Jadi kedua orang tua mempunyai hak yang wajib ditunaikan, suamipun mempunyai hak yang wajib ditunaikan. Anda wajib menunaikan hak masing-masing sesuai dengan haknya.

Namun terkait dengan ada kasus diantara keduanya, sementara saudari tidak tahu kamana harus berpihak? Maka yang wajib anda lakukan saat ini adalah berpihak kepada kebenaran. Jika suami anda berpihak kepada kebenaran, sedangkan bapak saudari di pihak yang salah, maka saudari wajib berpihak kepada suami dan berusaha menasihati bapak.

Jika sebaiknya, bapak saudari di pihak yang benar sedangkan suami di pihak yang salah, maka anda wajib berpihak pada bapak dan berusaha menasihati suami.
Anda wajib berpihak kepada pihak yang benar dan berusaha menasihati pihak yang bersalah.

Teruslah berusaha untuk mendamaikan keduanya semampu saudari, supaya saudari menjadi pintu kebaikan dengan sebab nasihat saudari perselisihan diantara keduanya akan berakhir dengan demikian anda juga akan mendapatkan pahala dari Allah swt.

Allah swt. berfirman dalam Suhat An Nisa ayat 114 yang artinya:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridlaan Allah,maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”

Kemudian nasihak kami kepada kedua pihak yang sedang bertikai adalah mereka wajib bertakwa kepada Allah swt. dan hendaknya mereka bermuamalah (bergaul) dengan berdasarkan ukhuwah islamiyah dan berdasarkan hak kekerabatan yang ada diantara mereka.

Hendaklah mereka melupakan perselisihan yang sedang terjadi diantara mereka dan hendaklah mereka saling memafkan kesalahan masing-masing.

Ini keadaan kaum Muslimin. Mereka tidak hanyut terbawa atau dibawah kendali hawa nafsu atau syaitan. Dan hendaklah mereka memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan.

Dikutip dari Rubrik Baituna, As-Sunnah edisi 08 Th. XVI

Senin, 23 Juli 2012

Keadaan Manusia Ketika Melewati Shirath


BAGAIMANA KEADAAN MANUSIA KETIKA MELEWATI SHIRATH?

Setelah kita melihat sekilas tentang SIFAT-SIFAT SHIRATH, berikut kita lihat pula bagaimana keadaan manusia ketika melewati shirath tersebut.

Riwayat pertama: “Dari Abu Hurairah ra. ia berkata Rosulullah saw. telah bersabda: ‘Lalu diutuslah amanah dan rahim (tali persaudraan) keduanya berdiri di samping kiri-kanan shirath tersebut. Orang yang pertama lewat seperti kilat’. Aku bertanya: ‘Dengan bapak dan ibuku (aku korbankan) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat?’ Rasul saw. menjawab: “Tidaklah kalian pernah melihat kilat bagaimana ia lewat dalam sekejap mata? Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung dan seperti kuda yang berlari kencang. Mereka berjalan sesuai dengan amalan mereka. Nabi kalian waktu itu berdiri di atas shirath sambil berkata: “Ya Allah selamatkanlah! Selamatkanlah! Sampai para hamba yang lemah amalannya, sehingga datang seseorang lalu ia bisa melewati kecuali dengan merangkak”. Beliau menuturkan (lagi): “Pada kedua sisi shirath terdapat besi pengait yang bergantung untuk menyambar siapa saja yang diperintahkan untuk disambar. Maka ada yang terpeleset namun selamat dan ada pula yang terjungkir ke dalam neraka”. (HR. Muslim)

Riwayat kedua: “Orang mukmin (berada) di atasnya (shirath), ada yang secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda yang amat kencang berlari, dan ada yang secepat pengendara. Maka ada yang selamat setelah tertatih-tatih dan ada pula yang dilemparkan ke dalam neraka. Mereka yang paling terakhir merangkak secara pelan-pelan”. (Muttafaqun ‘alaih)

Riwayat ketiga: “Diantara mereka ada yang binasa disebabkan amalannya, dan diantara mereka ada yang tergelincir namun kemudian ia selamat”. (Muttafaqun ‘alaih)

Riwayat keempat: “Dan dibentangkan shirath di atas permukaan neraka Jahannam. Maka aku dan umatku menjadi orang yang pertama kali melewatinya. Dan tiada yang berbicara pada saat itu kecuali para rasul. Dan doa para rasul pada saat itu: “Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah ....., di antara mereka ada yang tertinggal dengan sebab amalannya dan di antara mereka ada yang mendapatkan balasan sampai ia selamat.”  (HR. Muslim)

Melalui riwayat-riwayat yang kita sebutkan di atas dapat disimpulkan bagaimana kondisi manusia saat melintasi shirath:
1.     Ketika manusia melewati shirath, amanah dan ar-rahim (hubungan kekerabatan) menyaksikan mereka. Ini menunjukkan betapa pentingnya menunaikan amanah dan menjalin hubungan silaturakhim. Barangsiapa melalaikan keduanya, maka ia akan gemetar ketika disaksikan oleh amanah dan ar-rahim saat melewati shirath.
2.    Kecepatan manusia saat melewati shirath sesuai dengan tingkat kecepatan mereka dalam menyambut dan melaksanakan perintah-perintah Allah swt. di dunia ini.
3.    Diantara manusia ada yang melewati shirath secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, secepat angin, secepat burung terbang, ada pula yang secepat kuda berlari kencang.
4.    Diatara manusia ada yang melewatinya dengan merangkak pelan-pelan, ada yang berjalan dengan menggeser pantatnya sedikit demi sedikit, ada pula yang bergelantungan hampir-hampir jatuh ke dalam neraka dan ada pula yang dilemparkan ke dalamnya.
5.    Besi-besi pengait baik yang bergelantungan pada shirath maupun yang berasal dari nerakan akan menyambar sesuai dengan keimanan dan ibadah masing-masing manusia.
6.    Yang pertama sekali melawati shirath adalah Nabi Muhammad saw. dan umatnya.
7.    Setiap rasul menyaksikan umatnya ketika melewati shirath dan mendoakan umat mereka masing-masing agar selamat dari neraka.
8.    Ketika melewati shirath setiap mukmin diberi cahaya sesuai dengan amalnya masing-masing, hal ini diriwayatkan Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan firman Allah: “Pada hari itu, engkau melihat orang-orang Mukmin cahaya mereka menerangi dari hadapan dan kawan mereka” (QS. Al Hadid/57: 12)
Ibnu Mas’ud berkata, “Mereka melewati shirath sesuai dengan tingkat amal mereka. Diantara mereka ada yang cahayanya seperti gunung, ada yang cahayanya seperti pohon kurma, ada yang cahayanya setinggi orang berdiri, ada yang paling sedikit cahayanya sebatas menerangi ibu jari kakinya, sesekali nyala sesekali padam” . (Tafsir Ibnu Katsir)


Hikmah

Al Qurthubi berkata, “Coba renungkan sekarang tentang apa yang akan engkau alami, berupa ketakutan yang ada pada hatimu ketika engkau menyaksikan shirath dan kehalusannya (bentuknya). Engkau memandang dengan matamu ke dalam neraka jahannam yang terletak di bawahnya. Engkau juga mendengar gemuruh gejolaknya. Engkau harus melewati shirath itu meskipun keadaanmu lemah, hatimu gundah, kakimu bisa tergelincir, punggungmu merasa berat karena memikul dosa, hal itu tidak mampu engkau lakukan seandainya engkau berjalan di atas hamparan bumi, apalagi di atas shirath yang begitu halus.
Bagaimana seandainya engkau meletakkan salah satu kakimu di atasnya, lalu engkau merasakan ketajamannya! Sehingga mengharuskan mengangkat tumitmu yang lain! Engkau menyaksikan makhluk-makhluk di hadapanmu tergelincir kemudian berjatuhan! Mereka lalu di tarik para malaikat penjaga neraka dengan besi pengait. Engkau melihat bagaimana mereka dalam keadaan terbalik ke dalam neraka dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Wahai betapa mengerikannya pemandangan tersebut. Pendakian yang begitu sulit, tempat lewat yang begitu sempit.”

Amal shalih merupakan bagian dari iman, kecepatan seseorang dalam melewati shirath ditentukan oleh keimanan dan amal perbuatan manusia ketika hidup di dunia. Iman seseorang kadang bertambah kadang berkurang, kita agar berlomba-lomba  dalam berbuat kebaikan, semoga kelak termasuk orang yang paling cepat ketika melewati shirath di akhirat.
Wallahu a’lam, Semoga bermanfaat.

Dikutip dari: Ust. Dr.Ali Musri Semjan Putra: As Sunnah No.09/Th.XIV, p.39-40

Shirath, Jembatan Menuju Surga



SHIRATH, JEMBATAN DI ATAS NERAKA

Setiap muslim mengimani kehidupan akhirat, segala hal yang akan terjadi di akhirat, kejadian yang maha dahsyat, menakjubkan, luar biasa, tak terduga. Diantara peristiwa dahsyat tersebut kelak adalah peristiwa melewati shirath (jembatan) yang terbentang di atas neraka  menuju ke surga. Semoga Allah swt. memberikan kemudahan kepada kita untuk melewatinya kelak.

Pengertian Shirath secara etimologi bermakna jalan lurus yang terang. Adapun menurut istilah yaitu jembatan yang terbentang di atas neraka jahanam yang akan dilewati oleh semua manusia ketika menuju ke surga.
“Dan tidak ada seorangpun dari kalian, melainkan akan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah sesuatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam/19: 71). Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas’ud ra, dan Ka’ab bin Ahbar ra, menerangkan bahwa yang dimaksud dengan mendatangi neraka dalam ayat tersebut adalah melewati shirath. (lihat tafsir Ibnu Katsir)

Rasulullah saw. bersabda: “Kemudian didatangkan jembatan lalu dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam. Kami (para Sahabat) bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana (bentuk) jembatan itu?”. Jawab beliau, “licin (lagi) menggelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Nejd, dikenal dengan pohon Sa’dan ...” (Muttafaqun ‘alaih)

BENTUK DAN KONDISI SHIRATH
Dalam hadits telah disebutkan kondisi shirath yaitu, licin (lagi) menggelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Nejd, dikenal dengan pohon Sa’dan.
Para ulama menyebutkan bahwa shirath lebih halus daripada rambut, lebih tajam daripada pedang, lebih panas daripada bara api, licin dan menggelincirkan. Abu Sa’id ra. berkata: “Sampai kepadaku kabar bahwa shirath itu lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang.” HR. Muslim

Berdasarkan dalil-dalil tersebut dapat diikhtisarkan sifat dan bentuk shirath sebagai berikut
1)    Shirath sangat licin, sehingga sangat menghawatirkan siapa saja yang lewat dimana ia mungkin saja terpeleset dan terperosok jatuh.
2)   Shirath tersebut menggelincirkan. Para ulama telah menerangkan maksud dari ‘menggelincirkan” yaitu bergerak dari kanan dan kiri, sehingga orang yang melewatinya takut akan tergelincir dan tersungkur jatuh.
3)   Shirath memiliki besi pengait yang besat, penuh dengan duri, ujungnya bengkok. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang terkena besi pengait itu tidak akan lepas dari cengkramannya.
4)   Terpeleset atau tidak, tergelincir atau tidak, dan tersambar pengait besi atau tidak, semua itu ditentukan oleh amal ibadah dan keimanan masing-masing orang.
5)   Shirath tersebut terbentang di atas neraka Jahannam. Barang siapa terpeleset dan tergelincir atau terkena sambaran besi pengait maka ia akan jatuh ke dalam neraka jahanam.
6)   Shirath tersebut halus, sehingga sulit untuk meletakkan kaki di atasnya.
7)   Shirath tersebut juga tajam yang yang dapat membelah kaki orang yang melewatinya. Karena sesuatu yang begitu halus, namun tidak bisa putus, maka akan menjadi tajam.
8)   Sekalipun shirath itu halus dan tajam, manusia tetap dapat melewatinya. Karena Allah swt. Maha Kuasa untuk menjadikan manusia mampu berjalan di atas apapun.
9)   Kesulitan untuk melintasi shirath karena kehalusannya, atau terluka karena ketajamannya, semua itu bergantung kepada kualitas keimanan setiap orang yang melewatinya.



Dikutip dari: Ust. Dr.Ali Musri Semjan Putra: As Sunnah No.09/Th.XIV, p.37-38