Senin, 23 Juli 2012

Keadaan Manusia Ketika Melewati Shirath


BAGAIMANA KEADAAN MANUSIA KETIKA MELEWATI SHIRATH?

Setelah kita melihat sekilas tentang SIFAT-SIFAT SHIRATH, berikut kita lihat pula bagaimana keadaan manusia ketika melewati shirath tersebut.

Riwayat pertama: “Dari Abu Hurairah ra. ia berkata Rosulullah saw. telah bersabda: ‘Lalu diutuslah amanah dan rahim (tali persaudraan) keduanya berdiri di samping kiri-kanan shirath tersebut. Orang yang pertama lewat seperti kilat’. Aku bertanya: ‘Dengan bapak dan ibuku (aku korbankan) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat?’ Rasul saw. menjawab: “Tidaklah kalian pernah melihat kilat bagaimana ia lewat dalam sekejap mata? Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung dan seperti kuda yang berlari kencang. Mereka berjalan sesuai dengan amalan mereka. Nabi kalian waktu itu berdiri di atas shirath sambil berkata: “Ya Allah selamatkanlah! Selamatkanlah! Sampai para hamba yang lemah amalannya, sehingga datang seseorang lalu ia bisa melewati kecuali dengan merangkak”. Beliau menuturkan (lagi): “Pada kedua sisi shirath terdapat besi pengait yang bergantung untuk menyambar siapa saja yang diperintahkan untuk disambar. Maka ada yang terpeleset namun selamat dan ada pula yang terjungkir ke dalam neraka”. (HR. Muslim)

Riwayat kedua: “Orang mukmin (berada) di atasnya (shirath), ada yang secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda yang amat kencang berlari, dan ada yang secepat pengendara. Maka ada yang selamat setelah tertatih-tatih dan ada pula yang dilemparkan ke dalam neraka. Mereka yang paling terakhir merangkak secara pelan-pelan”. (Muttafaqun ‘alaih)

Riwayat ketiga: “Diantara mereka ada yang binasa disebabkan amalannya, dan diantara mereka ada yang tergelincir namun kemudian ia selamat”. (Muttafaqun ‘alaih)

Riwayat keempat: “Dan dibentangkan shirath di atas permukaan neraka Jahannam. Maka aku dan umatku menjadi orang yang pertama kali melewatinya. Dan tiada yang berbicara pada saat itu kecuali para rasul. Dan doa para rasul pada saat itu: “Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah ....., di antara mereka ada yang tertinggal dengan sebab amalannya dan di antara mereka ada yang mendapatkan balasan sampai ia selamat.”  (HR. Muslim)

Melalui riwayat-riwayat yang kita sebutkan di atas dapat disimpulkan bagaimana kondisi manusia saat melintasi shirath:
1.     Ketika manusia melewati shirath, amanah dan ar-rahim (hubungan kekerabatan) menyaksikan mereka. Ini menunjukkan betapa pentingnya menunaikan amanah dan menjalin hubungan silaturakhim. Barangsiapa melalaikan keduanya, maka ia akan gemetar ketika disaksikan oleh amanah dan ar-rahim saat melewati shirath.
2.    Kecepatan manusia saat melewati shirath sesuai dengan tingkat kecepatan mereka dalam menyambut dan melaksanakan perintah-perintah Allah swt. di dunia ini.
3.    Diantara manusia ada yang melewati shirath secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, secepat angin, secepat burung terbang, ada pula yang secepat kuda berlari kencang.
4.    Diatara manusia ada yang melewatinya dengan merangkak pelan-pelan, ada yang berjalan dengan menggeser pantatnya sedikit demi sedikit, ada pula yang bergelantungan hampir-hampir jatuh ke dalam neraka dan ada pula yang dilemparkan ke dalamnya.
5.    Besi-besi pengait baik yang bergelantungan pada shirath maupun yang berasal dari nerakan akan menyambar sesuai dengan keimanan dan ibadah masing-masing manusia.
6.    Yang pertama sekali melawati shirath adalah Nabi Muhammad saw. dan umatnya.
7.    Setiap rasul menyaksikan umatnya ketika melewati shirath dan mendoakan umat mereka masing-masing agar selamat dari neraka.
8.    Ketika melewati shirath setiap mukmin diberi cahaya sesuai dengan amalnya masing-masing, hal ini diriwayatkan Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan firman Allah: “Pada hari itu, engkau melihat orang-orang Mukmin cahaya mereka menerangi dari hadapan dan kawan mereka” (QS. Al Hadid/57: 12)
Ibnu Mas’ud berkata, “Mereka melewati shirath sesuai dengan tingkat amal mereka. Diantara mereka ada yang cahayanya seperti gunung, ada yang cahayanya seperti pohon kurma, ada yang cahayanya setinggi orang berdiri, ada yang paling sedikit cahayanya sebatas menerangi ibu jari kakinya, sesekali nyala sesekali padam” . (Tafsir Ibnu Katsir)


Hikmah

Al Qurthubi berkata, “Coba renungkan sekarang tentang apa yang akan engkau alami, berupa ketakutan yang ada pada hatimu ketika engkau menyaksikan shirath dan kehalusannya (bentuknya). Engkau memandang dengan matamu ke dalam neraka jahannam yang terletak di bawahnya. Engkau juga mendengar gemuruh gejolaknya. Engkau harus melewati shirath itu meskipun keadaanmu lemah, hatimu gundah, kakimu bisa tergelincir, punggungmu merasa berat karena memikul dosa, hal itu tidak mampu engkau lakukan seandainya engkau berjalan di atas hamparan bumi, apalagi di atas shirath yang begitu halus.
Bagaimana seandainya engkau meletakkan salah satu kakimu di atasnya, lalu engkau merasakan ketajamannya! Sehingga mengharuskan mengangkat tumitmu yang lain! Engkau menyaksikan makhluk-makhluk di hadapanmu tergelincir kemudian berjatuhan! Mereka lalu di tarik para malaikat penjaga neraka dengan besi pengait. Engkau melihat bagaimana mereka dalam keadaan terbalik ke dalam neraka dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Wahai betapa mengerikannya pemandangan tersebut. Pendakian yang begitu sulit, tempat lewat yang begitu sempit.”

Amal shalih merupakan bagian dari iman, kecepatan seseorang dalam melewati shirath ditentukan oleh keimanan dan amal perbuatan manusia ketika hidup di dunia. Iman seseorang kadang bertambah kadang berkurang, kita agar berlomba-lomba  dalam berbuat kebaikan, semoga kelak termasuk orang yang paling cepat ketika melewati shirath di akhirat.
Wallahu a’lam, Semoga bermanfaat.

Dikutip dari: Ust. Dr.Ali Musri Semjan Putra: As Sunnah No.09/Th.XIV, p.39-40

Shirath, Jembatan Menuju Surga



SHIRATH, JEMBATAN DI ATAS NERAKA

Setiap muslim mengimani kehidupan akhirat, segala hal yang akan terjadi di akhirat, kejadian yang maha dahsyat, menakjubkan, luar biasa, tak terduga. Diantara peristiwa dahsyat tersebut kelak adalah peristiwa melewati shirath (jembatan) yang terbentang di atas neraka  menuju ke surga. Semoga Allah swt. memberikan kemudahan kepada kita untuk melewatinya kelak.

Pengertian Shirath secara etimologi bermakna jalan lurus yang terang. Adapun menurut istilah yaitu jembatan yang terbentang di atas neraka jahanam yang akan dilewati oleh semua manusia ketika menuju ke surga.
“Dan tidak ada seorangpun dari kalian, melainkan akan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah sesuatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam/19: 71). Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas’ud ra, dan Ka’ab bin Ahbar ra, menerangkan bahwa yang dimaksud dengan mendatangi neraka dalam ayat tersebut adalah melewati shirath. (lihat tafsir Ibnu Katsir)

Rasulullah saw. bersabda: “Kemudian didatangkan jembatan lalu dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam. Kami (para Sahabat) bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana (bentuk) jembatan itu?”. Jawab beliau, “licin (lagi) menggelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Nejd, dikenal dengan pohon Sa’dan ...” (Muttafaqun ‘alaih)

BENTUK DAN KONDISI SHIRATH
Dalam hadits telah disebutkan kondisi shirath yaitu, licin (lagi) menggelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Nejd, dikenal dengan pohon Sa’dan.
Para ulama menyebutkan bahwa shirath lebih halus daripada rambut, lebih tajam daripada pedang, lebih panas daripada bara api, licin dan menggelincirkan. Abu Sa’id ra. berkata: “Sampai kepadaku kabar bahwa shirath itu lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang.” HR. Muslim

Berdasarkan dalil-dalil tersebut dapat diikhtisarkan sifat dan bentuk shirath sebagai berikut
1)    Shirath sangat licin, sehingga sangat menghawatirkan siapa saja yang lewat dimana ia mungkin saja terpeleset dan terperosok jatuh.
2)   Shirath tersebut menggelincirkan. Para ulama telah menerangkan maksud dari ‘menggelincirkan” yaitu bergerak dari kanan dan kiri, sehingga orang yang melewatinya takut akan tergelincir dan tersungkur jatuh.
3)   Shirath memiliki besi pengait yang besat, penuh dengan duri, ujungnya bengkok. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang terkena besi pengait itu tidak akan lepas dari cengkramannya.
4)   Terpeleset atau tidak, tergelincir atau tidak, dan tersambar pengait besi atau tidak, semua itu ditentukan oleh amal ibadah dan keimanan masing-masing orang.
5)   Shirath tersebut terbentang di atas neraka Jahannam. Barang siapa terpeleset dan tergelincir atau terkena sambaran besi pengait maka ia akan jatuh ke dalam neraka jahanam.
6)   Shirath tersebut halus, sehingga sulit untuk meletakkan kaki di atasnya.
7)   Shirath tersebut juga tajam yang yang dapat membelah kaki orang yang melewatinya. Karena sesuatu yang begitu halus, namun tidak bisa putus, maka akan menjadi tajam.
8)   Sekalipun shirath itu halus dan tajam, manusia tetap dapat melewatinya. Karena Allah swt. Maha Kuasa untuk menjadikan manusia mampu berjalan di atas apapun.
9)   Kesulitan untuk melintasi shirath karena kehalusannya, atau terluka karena ketajamannya, semua itu bergantung kepada kualitas keimanan setiap orang yang melewatinya.



Dikutip dari: Ust. Dr.Ali Musri Semjan Putra: As Sunnah No.09/Th.XIV, p.37-38

Rabu, 11 Juli 2012

Merokok, Adakah Manfaatnya?



MOTIVASI MEROKOK

Jawaban para pecandu ROKOK
Tentang alasan mereka “Mengapa tetap merokok”

1.       Merokok untuk mengurangi rasa tegang
2.       Merokok dapat menghilangkan rasa lelah
3.       Menimbulkan rasa lega setelah merokok
4.       Merokok untuk menikmati kesendirian, seorang perokok akan merasakan kenikmatan merokok seorang diri yang jauh dari pandangan orang lain
5.       Merokok karena ingin menyertai suatu kegiatan, misalnya setelah makan, sambil menikmati kopi atau teh
6.       Merokok menjadi teman dalam pekerjaan, seperti merokok sambil menyetir, mengetik, menulis, dll.
7.       Merokok untuk pengganti makanan, perokok biasanya tidak suka ngemil karena merokok dapat mengurangi nafsu makan, sehingga konsumsi makanan pun berkurang
8.       Merokok sebagai cara bersosialisasi, berkumpul bersama teman/kelompok, terlebih ketika mengikuti acara tertentu.
9.       Merokok dapat menumbuhkan rasa percaya diri
10.   Dengan merokok dapat melupakan sesaat masalah yang sedang dihadapi
11.   Merokok untuk sekedar mengisi waktu, daripada diam atau melamun.

 
PENYEBAB MENJADI PEROKOK

Meskipun gencar dikampanyekan bahaya merokok, larangan merokok, bahkan ada yang menfatwakan haram terhadap rokok, namun faktanya jumlah perokok terus bertambah, rokok tetap menjadi komoditas terlaris di negeri ini. Apa penyebabnya?
 
1.       Mencontoh perbuatan orang lain, misalnya:
             --  Anak meniru Bapaknya yang perokok
             -- Murid/Santri meniru Guru/Ustadznya yang perokok
       - Meniru tokoh/idolanya
2.       Dalam hal mencontoh di atas, tidak ada larangan dari orang tua/pihak lain terhadap perilaku merokok
3.       Bergaul bersama para perokok terutama pada usia menjelang dewasa
4.       Kemampuan ekonomi, kemudahan akses untuk membeli dimana saja kapan saja dengan harga murah
5.       Keinginan untuk menampilkan rasa gagah/berani pada usia remaja
6.       Pelampiasan rasa gundah, kosong, sepi karena kosongnya rohani
7.       Tidak adanya pemahaman tentang bahaya merokok ditinjau dari ilmu kesehatan maupun  pemahaman agama yang rendah/ keliru tentang kebiasaan merokok
8.   Sikap tidak peduli seorang perokok pada dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Etika Ketika Ta'ziyah dan Jenazah



Etika Jenazah dan Ta'ziyah


1. Segera merawat janazah dan mengebumikannya untuk meringankan beban keluarganya dan sebagai rasa belas kasih terhadap mereka. Abu Hurairah. Radhiallaahu anhu di dalam haditsnya menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Segeralah (di dalam mengurus) jenazah, sebab jika amal-amalnya shalih, maka kebaikanlah yang kamu berikan kepadanya; dan jika sebaliknya, maka keburukan-lah yang kamu lepaskan dari pundak kamu”. (Muttafaq alaih).

2. Tidak menangis dengan suara keras, tidak meratapinya dan tidak merobek-robek baju. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Bukan golongan kami orang yang memukul-mukul pipinya dan merobek-robek bajunya, dan menyerukan kepada seruan jahiliyah”. (HR. Al-Bukhari).

3. Disunatkan mengantar janazah hingga dikubur. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersada: “Barangsiapa yang menghadiri janazah hingga menshalatkannya, maka baginya (pahala) sebesar qirath; dan barangsiapa yang menghadirinya hingga dikuburkan maka baginya dua qirath”. Nabi ditanya: “Apa yang disebut dua qirath itu?”. Nabi menjawab: “Seperti dua gunung yang sangat besar”. (Muttafaq’alaih).

4. Memuji si mayit (janazah) dengan mengingat dan menyebut kebaikan-kebaikannya dan tidak mencoba untuk menjelek-jelekkannya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: ”Janganlah kamu mencaci-maki orang-orang yang telah mati, karena mereka telah sampai kepada apa yang telah mereka perbuat”. (HR. Al-Bukhari).

5. Memohonkan ampun untuk janazah setelah dikuburkan. Ibnu Umar Radhiyallaahu anhu pernah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam apabila selesai mengubur janazah, maka berdiri di atasnya dan bersabda:”Mohonkan ampunan untuk saudaramu ini, dan mintakan kepada Allah agar ia diberi keteguhan, karena dia sekarang akan ditanya”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani).

6. Disunatkan menghibur keluarga yang berduka dan memberikan makanan untuk mereka. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja`far, karena mereka sedang ditimpa sesuatu yang membuat mereka sibuk”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

7. Disunnatkan berta`ziah kepada keluarga korban dan menyarankan mereka untuk tetap sabar, dan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya milik Allahlah apa yang telah Dia ambil dan milik-Nya jualah apa yang Dia berikan; dan segala sesuatu disisi-Nya sudah ditetapkan ajalnya. Maka hendaklah kamu bersabar dan mengharap pahala.


(Dikutip dari Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan, penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, versi Indonesia Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari)

Etika dalam Memberi Salam



Etika dalam Memberi Salam



1. Makruh memberi salam dengan ucapan: “Alaikumus salam” karena di dalam hadits Jabir Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan : Aku pernah menjumpai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka aku berkata: “Alaikas salam ya Rasulallah”. Nabi menjawab: “Jangan kamu mengatakan: Alaikas salam”. Di dalam riwayat Abu Daud disebutkan: “karena sesungguhnya ucapan “alaikas salam” itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati”. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).

2. Dianjurkan mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam hadits Anas disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali” (HR. Al-Bukhari).

3. Termasuk sunnah adalah orang mengendarai kendaraan memberikan salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada yang banyak, dan orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Demikianlah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah yang muttafaq‘alaih.

4. Disunnatkan keras ketika memberi salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali jika di sekitarnya ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin Al-Aswad disebutkan di antaranya: “dan kami pun memerah susu (binatang ternak) hingga setiap orang dapat bagian minum dari kami, dan kami sediakan bagian untuk Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam Miqdad berkata: Maka Nabi pun datang di malam hari dan memberikan salam yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur, namun dapat didengar oleh orang yang bangun”.(HR. Muslim).

5. Disunatkan memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan meninggalkannya. Karena hadits menyebutkan: “Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak daripada yang kedua. (HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani).

6. Disunnatkan memberi salam di saat masuk ke suatu rumah sekalipun rumah itu kosong, karena Allah telah berfirman yang artinya:
“Dan apabila kamu akan masuk ke suatu rumah, maka ucapkanlah salam atas diri kalian” (An-Nur: 61)
Dan karena ucapan Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma : “Apabila seseorang akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan : Assalamu `alaina wa `ala `ibadillahis shalihin” (HR. Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani).

7. Dimakruhkan memberi salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat), karena hadits Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma yang menyebutkan “Bahwasanya ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedang buang air kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya”. (HR. Muslim)

8. Disunnatkan memberi salam kepada anak-anak, karena hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-anak ia memberi salam, dan ia mengatakan: “Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam”. (Muttafaq’alaih).

9. Tidak memulai memberikan salam kepada Ahlu Kitab, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :” Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.....” (HR. Muslim). Dan apabila mereka yang memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan “wa `alaikum” saja, karena sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : “Apabila Ahlu Kitab memberi salam kepada kamu, maka jawablah: wa `alaikum”.(Muttafaq’alaih).

10. Disunnatkan memberi salam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak kamu kenal. Di dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam : “Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Engkau memberikan makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu kenal”. (Muttafaq’alaih).

11. Disunnatkan menjawab salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan kepada yang dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam untukmu. Maka Nabi menjawab : “`alaika wa `ala abikas salam”

12. Dilarang memberi salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang shalat atau bisu atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Di dalam hadits Jabir bin Abdillah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian memberi salam seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian salam mereka memakai isyarat dengan tangan”. (HR. Al-Baihaqi dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

13. Disunnatkan kepada seseorang berjabat tangan dengan saudaranya. Hadits Rasulullah mengatakan: “Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat tangan, melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).

14. Dianjurkan tidak menarik (melepas) tangan kita terlebih dahulu di saat berjabat tangan sebelum orang yang dijabattangani itu melepasnya. Hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: “Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia diterima oleh seseorang lalu berjabat tangan, maka Nabi tidak melepas tangannya sebelum orang itu yang melepasnya....” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).

15. Haram hukumnya membungkukkan tubuh atau sujud ketika memberi penghormatan, karena hadits yang bersumber dari Anas menyebutkan: Ada seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah, kalau salah seorang di antara kami berjumpa dengan temannya, apakah ia harus membungkukkan tubuhnya kepadanya? Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Tidak”. Orang itu bertanya: Apakah ia merangkul dan menciumnya? Jawab nabi: Tidak. Orang itu bertanya: Apakah ia berjabat tangan dengannya? Jawab Nabi: Ya, jika ia mau. (HR. At-Turmudzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

16. Haram berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika akan dijabat tangani oleh kaum wanita di saat baiat, beliau bersabda: “Sesung-guhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita”. (HR.Turmudzi dan Nasai, dan dishahihkan oleh Albani).

(Dikutip dari Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan, penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, versi Indonesia Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari)

Etika Dalam Berbicara


Etika dalam Berbicara


1. Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia”. (An-Nisa: 114).

2. Hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.

3. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagimu. Hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menyatakan: “Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

4. Janganlah kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu di dalam hadisnya menuturkan : Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda: ”Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar”. (HR. Muslim)

5. Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekalipun kamu berada di fihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda”. (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

6. Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah ra. telah menuturkan: “Sesungguhnya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam apabila membi-carakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya”. (Mutta-faq’alaih).

7. Menghindari perkataan jorok (keji). Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Seorang mu’min itu pencela atau pengutuk atau keji pembicaraannya”. (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).

8. Menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir Radhiallaahu anhu disebutkan: “Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun”. Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab: “Orang-orang yang sombong”. (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).

9. Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”. (Al-Hujurat: 12).

10. Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.

11. Jangan memonopoli dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.

12. Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.

13. Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan). (Al-Hujurat: 11).

(Dikutip dari Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan, penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, versi Indonesia Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari)