5. ADAB-ADAB MENUNTUT ILMU DAN BEBERAPA SIFAT YANG HARUS DIJAUHI.
a. ADAB-ADAB MENUNTUT ILMU
1) Ikhlas
Seorang yang hendak menuntut ilmu harus berniat melakukan kegiatannya itu karena Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Jika seseorang berniat menuntut ilmu untuk mendapatkan ijasah agar mendapatkan kedudukan atau status dalam masyarakat maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengancam dalam sebuah hadits :
من تعلم علما مما يبتغى به وجه الله عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها (حم, د 3179, جه 248)
Namun jika seseorang mengatakan bahwa saya ingin mendapatkan ijasah bukan karena kepentingan (keuntungan) dunia tetapi karena peraturan dan sistem yang ada mengharuskan ijasah dan menjadi standar internasional, Syekh Utsaimin mengatakan : Jika niatnya mendapatkan ijasah untuk memberi manfaat bagi manusia dengan mengajar, memegang sebuah jabatan tertentu atau yang lainnya, maka niat ini tidak mengapa karena ini niat yang benar. (Kitabul Ilmi, hal 25-26)
إن أول الناس يقضى يوم القيامة عليه رجل استشهد فأتي به …… ورجل تعلم العلم وعلمه وقرأ القرآن فأتي به فعرفه نعمه فعرفها قال فما عملت فيها قال تعلمت العلم وعلمته وقرأت فيك القرآن قال كذبت ولكنك تعلمت العلم ليقال عالم وقرأت القرآن ليقال هو قارئ فقد قيل ثم أمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار …. (م/3527)
Sengaja ikhlas disebutkan di awal pembahasan adab karena ikhlas merupakan pondasi.
2) Diniatkan untuk menghilangkan ketidaktahuan (kebodohan) diri dan orang di lingkungannya. Karena pada dasarnya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman :
و الله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع و الأبصار و الأفئدة لعلكم تشكرون(النحل: 78)
Menuntut ilmu dengan niat menghilangkan ketidaktahuan (kebodohan) dari diri sendiri karena pada dasarnya setiap kita tidak tahu apa-apa sebelum belajar. Jika kita belajar dan menjadi orang yang berilmu maka ketidaktahuan (kebodohan) akan hilang. Demikian pula berniat menghilangkan ketidaktahuan dari umat ini. Ini bisa dilakukan dengan belajar dan berbagai usaha yang menyebabkan orang lain mendapat ilmu.
Untuk mendapatkan ilmu tidak hanya dengan duduk di pengajian, tetapi bisa dengan berbagai cara dan dalam berbagai keadaan. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :
بلغوا عني ولو آية (خ, كتاب الأنبياء)
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ilmu itu tidak bisa ditandingi jika niat (belajar)nya benar.” Murid-murid beliau bertanya: “Bagaimana caranya?” Beliau menjawab: “Berniat menghilangkan ketidaktahuan dari diri sendiri dan orang lain.”
3) Menjaga syari’at Islam.
Hendaknya orang yang menuntut ilmu berniat menjaga dan membela syari’at karena buku-buku tidak mungkin membela syari’at. Seandainya seorang ahlu bid’ah mendatangi sebuah perpustakaan yang sangat penuh dengan buku-buku agama, kemudian berbicara dan menetapkan suatu bid’ah, tidak ada satu bukupun yang sanggup membantahnya. Berbeda jika dia berbicara dan menetapkan sebuah bid’ah di hadapan seorang ahlul ‘ilmi, maka ahlul ilmi tersebut akan dapat menolak dan membantahnya dengan al Qur`an dan as Sunnah.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban thalibul ilmi untuk menuntut ilmu dengan niat menjaga syari’at, karena melindungi syari’at hanya bisa dilakukan oleh pasukannya. Hal ini seperti senjata. Sandainya kita memiliki berbagai senjata yang penuh dalam gudang, tentu harus ada orang-orang yang menggunakan senjata-senjata tersebut. Karena senjata-senjata tersebut tidak bisa menembak dengan sendirinya.
Kemudian bid’ah juga terus berkembang. Kadang ada bid’ah yang tidak terdapat dalam buku para ulama salaf tetapi sekarang muncul.
Oleh karena itu, orang-orang sangat membutuhkan ulama yang sanggup membantah usaha para ahlul bid’ah dan seluruh musuh Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan ilmu syar’i yang bersumber dari al Qur`an dan as Sunnah.
4) Lapang dada dalam perbedaan pendapat (yang mungkin terjadi).
Masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama ada beberapa jenis :
(1) Masalah yang sudah jelas dan tidak membuka kesempatan bagi siapa saja untuk ijtihad; maka tidak boleh ada perbedaan.
(2) Masalah yang masih terbuka kesempatan untuk berijtihad, maka perbedaan pendapat di sini masih bisa ditolerir. Pendapat anda tidak bisa menjadi argumen (hujjah) yang harus dipaksakan terhadap orang lain. Sebab kalau kita katakan bisa, maka akan berlaku pula sebaliknya, pendapat orang lain menjadi argumen (hujjah) yang harus dipaksakan kepada anda. Tentu ini untuk masalah-masalah yang banyak menggunakan logika (dan tidak ada nash secara tegas yang menjelaskannya) serta masih terbuka kesempatan untuk berbeda pendapat. Tetapi perbedaan pendapat ini tidak boleh kita jadikan alasan untuk mencela dan mencaci maki orang lain dan tidak boleh menjadi sebab permusuhan. Para sahabat dahulu pernah berbeda pendapat dalam beberapa masalah ijtihadiyah, tetapi hal itu tidak menjadikan mereka bermusuhan satu sama lain.
Berbeda halnya dengan orang yang menentang dan tidak mau mengikuti jalan para ulama salaf (dari kalangan para sahabat Nabi, tabi’in dan yang mengikuti jalan mereka), seperti masalah-masalah ‘aqidah, maka semua pendapat yang bertentangan dengan para ulama salaf tidak bisa diterima.
5) Mengamalkan ilmu
Thalibul ilmi berkewajiban mengamalkan ilmunya, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, adab dan mu’amalah. Amal adalah buah hasil ilmu. Orang yang berilmu seperti pembawa senjata. Senjatanya bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya ataupun sebaliknya. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :
القرآن حجة لك أو عليك * (م/328)
لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه وعن علمه فيم فعل وعن ماله من أين اكتسبه و فيم أنفقه وعن جسمه فيم أبلاه * (ت /2341)
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال : "من علم منكم علما فليقل به ومن لم يعلم فليقل لما لا يعلم الله أعلم فإن العالم إذا سئل عما لا يعلم قال الله أعلم وقد قال الله لرسوله ( قل لا أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين ) * (د/175)
Abud Darda` berkata : “Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya di hadapan Allah pada hari Qiamat adalah orang ‘alim yang tidak mengambil manfaat dari ilmunya.” (HR Ad Darimi no 264)
Kalau ada perintah dari Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan rasul Nya, maka percaya dan yakinilah kebenarannya kemudian amalkan, tanpa harus bertanya: Untuk apa ? Bagaimana ? Karena kebiasaan seperti ini bukan cara-cara orang-orang yang beriman, sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa :
وما كان لمؤمن ولامؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا (سورة الأحزاب : 36)
Para sahabat dahulu, jika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan mereka dan memerintahkan mereka dengan barbagai hal yang kadangterasa aneh dan asing menurut pemahaman mereka, tetapi mereka menerimanya (secara langsung) tanpa bertanya : Untuk apa ? Bagaimana ? Berbeda dengan orang-orang sekarang, yang jika diajak dengan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kemudian terasa asing di fikirannya, langsung mengajukan berbagai pertanyaan yang sebenarnya ingin menolak perintah itu, bukan ingin tahu. Oleh karena itu mereka (orang-orang sekarang) terhalang untuk mendapat taufik.
6) Mengajak ke jalan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Thalibul ilmi hendaklah menjadi da’i yang menyeru ke jalan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam berbagai kesempatan, di masjid, pertemuan-pertemuan, pasar dan sebagainya. Kita lihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam setelah menerima wahyu menjadi nabi dan rasul, beliau tidak tinggal diam di rumahnya, beliau berda’wah dan terus berusaha. Kita tidak ingin bahwa para thalibul ilmi hanya menjadi orang-orang yang menukil dari buku, tetapi menjadi ulama yang senantiasa beramal.
7) Hikmah dalam bertindak.
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman :
يؤتي الحكمة من يشاء و من يؤتى الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا (البقرة : 269)
Termasuk sikap hikmah bahwa thalibul ilmi mendidik orang dengan akhlak yang menjadi perilakunya dan mengajak kepada agama Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, dengan menghadapi dan mensikapi setiap orang dengan cara yang sesuai dengan kondisinya.
Al Hakim (orang yang berhikmah) adalah orang yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Hendaknya setiap thalibul ilmi memilih cara dakwah yang paling mudah diterima. Kalau kita lihat banyak diantara da’i sekarang, karena semangatnya yang berlebihan akhirnya membuat orang lari dari da’wahnya. Kalau ada orang yang melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa, anda akan lihat ia (da’i)mensikapinya dengan keras, yang membuat orang-orang lari dari da’wahnya.
8) Sabar ketika belajar.
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman :
تلك من أنباء الغيب نوحيها إليك ما كنت تعلمها أنت و لا قومك من قبل هذا فاصبر إن العاقبة للمتقين (هود :49)
“Itu adalah diantara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Huud ayat 49)
9) Menghargai dan memuliakan ulama`.
Thalibul ilmi harus menghormati dan menghargai ulama`, punya sikap lapang dada terhadap perbedaan pendapat para ulama, bersedia memaafkan kesalahan orang yang keliru dalam aqidah. Ini point yang penting sekali. Karena ada sebagian orang yang mencari-cari kesalahan orang lain, agar bisa melakukan perbuatan yang tidak layak terhadap mereka dan merusak wibawa mereka. Ini termasuk kesalahan yang paling besar. Kalau ghibah terhadap orang awam termasuk dosa besar, maka ghibah terhadap orang ‘alim jauh lebih besar, karena ghibah terhadap orang ‘alim akibatnya bukan hanya terhadap dirinya sendiri tetapi juga terhadap ilmu syari’ah yang dibawanya.
ليس من أمتي من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا (مسند أحمد ج: 5 ص: 323, عن عبادة بن الصامت)
10) Berpegang teguh kepada Al Qur`an dan As Sunnah.
11) Teliti dengan sumber dan isi ilmu yang akan dipelajari
12) Bersemangat untuk memahami ayat dan hadits sesuai dengan yang dikehendaki Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan rasul Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam.
b. SIFAT-SIFAT YANG HARUS DIJAUHI OLEH PENUNTUT ILMU.
a. Hasad (iri dan dengki)
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahawa hasad adalah suatu sifat yang tercela, ia senantiasa menjangkiti hati setiap manusia. Dimana hal itu timbul karena adanya persaingan dengan orang lain untuk mendapatkan suatu maksud yang sama – sama diinginkan, sehingga merekapun saling membenci. Sebagaimana telah diriwayatkan dari Zubair bin Al Awwam -semoga Allah meridloinya- dia berkata : Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata: “ Kalian akan terkena suatu penyakit umat – umat sebelum kalian yaitu dengki dan kebencian.”(HR. Tirmidzi dan Ahmad).
“ Janganlah kalian saling membenci, saling memutuskan hubungan, saling mendengki, saling bermusuhan, jadilah kalian hamba – hamba Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa yang bersaudara.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim )
Karena itu orang yang berilmu mendengki orang yang berilmu lainnya dan bukan kepada ahli ibadah. Dan sebaliknya ahli ibadah akan mendengki ahli ibadah lainnya dan bukan kepada ahli ilmu, tukang sepatu mendengki tukang sepatu lainnya dan tidak mendengki pedagang kain kecuali jika ada sebab – sebab tertentu. Dimana pangkal semua ini adalah cinta dunia. Dunia inilah yang membuat dua pesaing merasa tempat berpijaknya menjadi sempit, berbeda dengan urusan akhirat yang tidak akan membuat seseorang merasa sempit.sebab siapa yang mengetahui Allah ta’ala, malaikat , para nabi Nya, kekuasaan langit dan bumi, tidak akan mendengki orang lain. Bahkan jika ada pengetahuan diketahui orang lain atau banyak maka dia akan merasa gembira. Oleh karena itu semua ulama tidak ada yang saling mendengki. Sebab tujuan mereka adalah mengetahui Allah ta’ala.
Adapun sifat dengki tidak semua dilarang , sebagaimana sabda Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam didalam Ash Shohihain disebutkan dari hadits Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma :” Tidak ada dengki kecuali dakam dua perkara : Orang yang diberi Al - Qur’an oleh Allah ta’ala lalu dia membacanya menjelang malam dan menjelang siang, dan seseorang yang diberi harta oleh Allah ta’ala lalu dia menafkahkannya dalam kebenaran menjelang malam dan menjelang siang.” ( HR. Bukhori dan Muslim ).[4].
b. Ta’ashub
Kata Ta’ashub secara bahasa berasal dari kata al - ‘ashabiah yang berarti semangat golongan, sedangkan kata ta’ashoba artinya mengencangkan pembalut atau perkumpulan atau ikatan .Dan ta’ashub bisy – syai artinya radhia bihi (rela terhadapnya )
“Apabila engkau menjadikan apayang datamg dari seseorang yang berupa pendapat atau apa yang diriwayatkannya berupa ijtihad sebagai hujjah bagimu dan bagi ssetiap orang.” (Asy Syaukani, dinukil dr kitab Wujub Luzumil Jama’ah)
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah telah berkata dalam kitabnya Iqtidho Shirathal Mustaqim:
“Barang siapa mewajibkan untuk bertaqlid kepada seorang imam tertentu ( dengan disertai tidak boleh mengikutipendapat imam yang lain ) maka ia diminta untuk bertaubat, kalau tidak maka dibunuh , karena sesungguhnya penetapan kewajiban ini merupakan kemusyrikan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam hal pen syariatan, padahal perkara ini merupakan kekhususan Allah ta’ala dalam rububiah.
Dampak Negatif :
Adapun dampak negatifnya adalah :
1. Timbulnya perselisihan diantara umat Islam ( Qs Al Anfal : 46 )
2. Pengagungan terhadap selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan Rasul Nya. Ini merupakan kesesatan. (Qs An Nur: 63 ,Al Hujurat:1 ,An Nur: 51 –52 )
Al Imam Asy Syathibi telah berkata dalam kitabnya Al I’tishom II/355: “ Sesungguhnya berhukum kepada seseorang dengan tidak memperhatikan bahwa dia itu adalah wasilah untuk suatu hukum syar’I yang diinginkan secara syari’at adalah suatu kesesatan.”
3. Timbulnya al wala’ (loyalitas) al baro’ ( berlepas diri ) yang tidak benar.
4. Menolak kebenaran / al Haq.
5. Tersebarnya berbagai bid’ah ditengah umat Islam.(Dinukil dari Bundel majalah as Sunnah hal.19 – 23 )
c. Menjauhi ma’shiat.
d. Sombong.
e. Malas.
f. Sifat mudah putus asa.
[1] Syarah ushul tsalatsah, Syaikh Al ‘Utsaimin hal.27
[2] (lihat Manhajul anbiya fii tazkiyatun nufus hal.110
[3] Kitabul’ilmi, Syaikh Utsaimin hal. 67
[4] (Minhajul Qoshidin, Ibnu Qudamah hal. 234 – 236
Tidak ada komentar:
Posting Komentar