SETETES BENING EMBUN
Pagi masih gelap, ketika
suara azan bersaut-sautanan, pujian memuliakan sang pencipta semesta alam raya.
Rama, nama panggilan Muhammad Ramadhan segera bangun, menyentuh air dingin tuk
mensucikan diri. Perlahan kakinyapun menapak selangkah demi selangkah menuju
rumah Allah Yang Maha Agung nan megah tak jauh dari rumah tempat dia
berlindung. Seperti hari-hari biasanya, tak lebih dari dua baris jamaah terisi.
Mungkin karena terlalu nyaman permadani membentang di kamar, begitupun terlalu
hangat di peraduan, sehingga begitu berat untuk segera beranjak memenuhi
panggilan-Nya. Namun semua itu tak mengurangi suasana khusuk jama’ah kala
menunaikan kewajiban-Nya. Sebagai ungkapan rasa syukur yang tiada terkira, atas
nikmat-nikmat yang masih bisa dirasakan hingga detik pagi itu yang dingin menusuk.
Usai sudah kewajiban ditunaikan untuk
mengawali hari baru yang penuh harapan. Langkah kaki Rama beranjak menapaki
jalan berumput di pagi yang masih redup. Kakipun basah oleh embun yang dingin.
Langkahnya terhenti sejenak, badan membungkuk, dan tangan tak sabar menyentuh,
membelai butiran-butiran embun nan bening itu. Kedua mata tak berhenti menatap
kemurnian tetes-tetes air embun itu. “Biarkan aku puas menatap kemurnianmu,
biarkan tangan ini merasakan kesejukanmu, sebelum hilang menguap saat hangat mentari
merubahnya menjadi uap, menghilang kembali ke asalmu”, demikian dalam hati Rama
berucap.
Begitulah awal permulaan
kehidupan. Berasal dari yang suci, murni, tak ternoda sama sekali. Apakah
kehadirannya yang tak lama dapat memberi manfaat bagi sesama, seperti embun
pagi yang menyejukkan, memuaskan dahaga rerumputan, sebelum rumput-rumput itu
terpapar terik mentari seharian. Andaikan dapat rerumputan itu berkata, tentu
ia akan berucap ribuan terima kasih pada sang embun nan turun atas izin dari Yang
Maha Mulia, yang telah meneteskan air harapan sebagai bekal menjalani hari yang
penuh dengan rintangan.
Apakah kehadiran diri ini
yang bermula dari yang bersih, suci tiada berdosa akan membawa kesejukan, akan
memberikan manfaat bagi sesama, memberikan kontribusi positif bagi lingkungan
sekitar? Sebelum kelak akan kembali ke asal, kembali ke sisi Allah Sang Maha
Pencipta.
Hangat sinar mentari
mulai menyinari tubuh pemuda yang penuh semangat itu. Saat pandangan Rama tak
beranjak dari kupu-kupu yang terbang diantara pucuk-pucuk ranting tumbuhan berbunga.
Aktifitas alam ini telah dimulai, ketika hewan-hewan telah pergi mencari makan,
mengais rizki dari Yang Maha Mencukupi semua makhluk ciptaan-Nya.
Terlihat seekor ulat
sedang melahap makanannya, dedauan hijau muda yang masih amat segar
kesukaannya. Sambil tak henti memperhatikan, hayalan Rama bertanya pada sang
ulat, “Hai ulat, mengapa kau hanya
memakan dedaunan? Mengapa tidak kau makan bunga di pucuk itu? Bukankan
bunga-bunga itu lebih indah, harum semerbak?” Belum pernah ditemui ada ulat
menjadikan bunga sebagai makanannya. Lalu sang ulat menjawab tegas, “Iya makananku kini hanyalah daun, dan aku
tak akan pernah memakan bunga-bunga itu, walau kuncup sekalipun, karena
bunga-bunga itu akan menjadi makananku kelak, ketika aku sudah berubah menjadi
kupu-kupu”.
Sungguh luar biasa
kehidupan kupu-kupu, berawal dari kehidupannya yang buruk, dari ulat yang
mengerikan bentuknya, dibenci, ditakuti, yang merusak karena memakan dedaunan.
Namun ia tetap sabar, istikomah pada jalan hidup yang harus dijalaninya, hingga
pada saatnya nanti ia akan berubah menjadi kupu-kupu yang indah, lembut,
anggun, dan makanannya pun adalah makanan terbaik berupa nektar madu, sari pati
di dalam semerbak harum bunga.
Dapatkah manusia bersabar
menjalani takdir-takdir Allah Yang Maha Bijaksana. Menjalani hidup saat ini
dengan sabar, berikhtiar, dan bertawakal dengan harapan kelak pada saatnya akan
memperoleh balasan terindah, anugerah, dan kemuliaan.
Belum puas memandang
kupu-kupu, di atas pepohonan Rama mendapati burung-burung liar bertengger diantara
ranting dan dahan. Sungguh ceria mereka pagi itu, kakinya yang mungil tak henti
melompat-lompat diantara rimbunnya pepohonan. Suaranya merdu menyanyikan lagu-lagu
alam terindah, bersaut-sautan tiada henti menyambut pagi yang penuh harapan. Rama
tak henti memuji kebesaran Sang Maha Pencipta atas indahnya pagi itu. Angannya
kembali mengucap, “Aku ingin terbang bersamamu wahai sang burung!” Rama lanjut berujar,
“Bolehkah aku belajar dari syair-syair merdu suaramu itu, yang tak henti kau dendangkan?
Dan syair-syair apakah gerangan yang kau lantunkan itu?”
Rasa ingin tahu Rama
begitu memuncak, pertanyaan-pertanyaan terus memburu dalam benaknya. Tentang rahasia
alam yang ingin dijadikan sebagai inspirasi dalam hidupnya. Rasanya sudah tak
sabar menanti jawaban dari burung-burung mungil di hadapannya. Yang tak henti
melantunkan suara indah menyambut pagi nan cerah dan penuh semangat.
Tak disangka, seekor
burung mungil berbulu hitam kebiruan, dengan paruh runcing memanjang mendekat
tak jauh di hadapan Rama. Kepada Rama sang burung berujar menjawab pertanyaan
di benak hati Rama. “Wahai pemuda yang dimuliakan Sang Maha Pencipta, rasa
ingin tahumu begitu besar tentang kehidupanku.” Kemudian sang burung
melanjutkan, “Jika kau ingin tahu tentang syair-syair dalam nyanyian-nyanyian
yang selalu aku dendangkan, saat menyambut pagi yang indah ini, saat siang
hingga saat senja sebelum sang mentari terbenam, ketahuilah olehmu bahwa
semuanya adalah pujian-pujian kami kepada Allah Yang Maha Mulia, sebagai
ungkapan syukur atas anugerah yang tak terhingga. Sejak pagi saat kami masih diberikan
kesempatan untuk hidup maka kami lantunkan pujian kepada-Nya, saat siang kami
diberikan kecukupan rizki tak lupa kami lantunkan puji-pujian, hingga senja saat
menjelang istirahat malam tak henti pula kami memuji kemuliaan-Nya.”
Tak terasa air mata Rama
telah menetes di pipinya, merasakan ungkapan burung mungil nan mulia. Terasa tak
sebanding dirinya bersanding dengan burung kecil itu dalam memuji dan
mengungkapkan syukurnya kepada Sang Khalik. Mereka tak pernah melupakakan
berzikir, memuji Allah Yang Maha Suci, sedangkan kebanyakan manusia justru
lalai dengan melimpahnya kesenangan di dunia.
Segera Rama memuji Allah Yang
Maha Agung, berterimakasih atas kemurahan-Nya kepada hamba-Nya yang selama ini pun
telah lalai. Dia yang masih memperkenankan diri melihat pagi yang penuh harapan
serta memperkenankan diri ini belajar dari indahnya alam ciptaan-Nya. Alam yang
sebenarnya begitu dekat di samping rumah hamba-hambanya, namun selama ini tak
pernah terlintas dalam lubuk hati dan pemikiran. Yang seharusnya dapat menjadi
inspirasi dan pencerahan dalam menjalani kehidupan yang tak lama di dunia yang
fana ini.
Ramadhan-Syawal 1444 H.
Teguh Irwanto