Selasa, 26 April 2011

SM Kartosuwiryo (Bagian 1)


Siapakah S.M. KARTOSUWIRYO?


Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (SM Kartosuwirjo) dilahirkan di Cepu pada hari Selasa Kliwon, tanggal 7 Februari 1905 (Pinardi, 1964). Sebenarnya nama asli SM Kartosuwirjo adalah Maridjan, sedangkan ayahnya bernama Kartosuwirjo,seorang mantri penjual candu di Pamotan dekat Rembang, yaitu seorang pegawai yang diangkat pemerintah Kolonial Belanda, yang tugasnya sebagai perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan oleh pemerintah Kolonial Belanda (Holk H. Dengel, 1995). Profesi pedagang candu saat itu mempunyai kedudukan yang sangat istimewa dan mempunyai peran yang sangat penting. Candu ketika itu termasuk barang yang tidak pernah dipersoalkan oleh organisasi-organisasi ataupun umat Islam. Sebagai anak dari seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda, secara otomatis ia masuk pula dalam golongan priyayi atau bangsawan. Oleh karena itu ketika masih kecil ia mendapat sebutan Sekarmadji (Pinardi, 1964).

SM Kartosuwirjo dibesarkan dalam suasana dimana ide-ide barat dengan faham rasionalismenya sedang dikenalkan di tanah jajahan Hindia. Suasana ini mewarnai pola asuh orang tuanya yang cenderung menghidupkan keluarga liberal. Dalam keluarga Kartosuwirjo setiap anggota keluarga diberi kebebasan untuk menentukan jalan pemikiran dan ideologi sesuai dengan keinginan dan pandangannya masing-masing. (Al Chaidar, 1999).

SM Kartosuwirjo berkesempatan mengenyam pendidikan modern Hindia Belanda. Pada tahun 1911 ketika ia baru berumur 6 tahun, SM Kartosuwirjo masuk Sekolah Angka II (Tweede Inlandsche School) disebut juga Sekolah Rakyat atau Sekolah Angka Dua yaitu suatu sekolah yang didirikan khusus untuk pribumi di Pamotan. Penduduk pribumi yang dimaksud di sini tidak lain adalah anak-anak pribumi yang mampu dan anak-anak bangsawan. Tempat belajarnya ada di Pamotan, Rembang, desa tempat tinggal orang tuanya. Sekolah ini didirikan dengan maksud untuk memberikan pendidikan seminimal-minimalnya kapada penduduk pribumi. Pelajaran yang diberikan adalah Bahasa Belanda atau bahasa asing lainnya. Pengetahuan Bahasa Belanda ini oleh masyarakat kolonial di Indonesia merupakan salah satu prasyarat untuk dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi yaitu sekolah Kelas Satu dan menjadi syarat pula agar dapat diterima dalam pekerjaan administratif sebagai pegawai pemerintah Kolonial Belanda. (C. Van Djik, 1983).

Setelah empat tahun belajar, SM Kartosuwirjo melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Dasar Kelas Satu, yaitu di Hollands Inlandse School (HIS) atau Sekolah Rendah untuk penduduk pribumi. Tempat belajarnya ada di Rembang dan lama belajarnya 7 (tujuh) tahun. SM Kartosuwirjo diterima di sekolah ini dengan penurunan satu tingkat. Ia hanya mengikuti pendidikan di HIS sampai pada kelas empat. Tahun 1919 ia pindah sekolah lagi karena harus mengikuti kepindahan orang tuanya di Bojonegoro. Di kota ini SM Kartosuwirjo dimasukkan di sekolah Belanda yang tingkatannya lebih tinggi dari pada sekolah-sekolah sebelumnya. Ia dapat diterima di Europeesche Lagere School (ELS) yaitu Sekolah Rendah yang khusus untuk orang-orang Eropa dan anak-anak dari golongan bangsawan tinggi atau Pegawai Pamong Praja dengan pangkat Asisten Wedana ke atas (Pinardi, 1964). ELS disebut juga Sekolah Dasar Eropa, yang termasuk golongan sekolah elite. Syarat-syarat untuk masuk ELS termasuk paling ketat. Sebenarnya sekolah ini terutama direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang-orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa, namun demikian walaupun jumlahnya terbatas anak-anak pribumi juga diperkenankan masuk belajar di sekolah ini. Nantinya setelah golongan pribumi tersebut menyelesaikan sekolahnya di ELS, mereka berkesempatan bahkan diharapkan dapat melanjutkan pendidikannya pada lembaga-lembaga Eropa untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Bahkan bagi anak-anak yang mempunyai kemampuan atau bakat khusus, yakni anak-anak yang berprestasi tinggi, mereka dapat melanjutkan pendidikan pada salah satu lembaga yang akan mendidik mereka menjadi dokter bumiputera, ahli hukum atau pegawai negeri. (C Van Dijk, 1983 : 12-13).

SM Kartosuwirjo sendiri termasuk dalam kelompok siswa yang cerdas dan berbakat tinggi. Hal ini juga dibuktikan dari hasil evaluasi psikologi mengenai SM Kartosuwirjo yang dilakukan tahun 1962 setelah ia tertangkap. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa kecerdasannya bertaraf tinggi, artinya mutu kecerdasannya tidak sekedar bertitik berat pada kemampuan akademik melainkan juga pada penggunaan fungsi-fungsi intelektual yang ada padanya. Walaupun saat ini usianya sudah lanjut, namun fungsi-fungsi intelektual yang ia miliki masih sangat baik. Bahkan daya ingat yang biasanya pada orang-orang di usia lanjut sudah mulai berkurang, namun pada diri SM Kartosuwirjo hanya menunjukkan kemunduran yang sedikit saja. Karena kecerdasannya yang cukup tinggi tersebut tidak mengherankan jika SM Kartosuwirjo dapat menyelesaikan pendidikannya di ELS, kemudian melanjutkan lagi ke sekolah Belanda yang lebih tinggi. (PSYDAM VI/ Siliwangi, 1962)

Pada tahun 1923 ketika baru berusia 18 tahun, SM Kartosuwirjo diterima menjadi mahasiswa tingkat persiapan pada Nederlands Indische Artsen School (NIAS), yaitu Sekolah Dokter Hindia Belanda atau pada waktu itu terkenal dengan nama Sekolah Dokter Jawa. Ketika SM Kartosuwirjo masuk di NIAS, pada tahap pertama ia harus menempuh kelas persiapan (Voorbereidende School) selama tiga tahun. Pada kelas persiapan ini diberikan pendidikan-pendidikan menengah, dan SM Kartosuwirjo dapat menyelesaikan kelas ini dengan lancar. Selanjutnya ia melanjutkan sekolahnya sebagai mahasiswa tingkat satu untuk jurusan Ilmu Ketabiban atau Geneeskundige Afdeling. Pada tahap inilah ia memperoleh pendidikan utama yaitu mempelajari ilmu kedokteran. Sebenarnya untuk dapat menamatkan pendidikan di sekolah ini harus ditempuh selama enam tahun dan jika telah berhasil menamatkan pendidikan ini, dokter-doker Jawa yang dihasilkan NIAS belum bisa dianggap sama dengan dokter-dokter Belanda. Untuk dapat dianggap sebagai dokter yang sesungguhnya, maka mereka harus menyelesaikan pelajaran kedokteran di suatu universitas di negeri Belanda atau pada Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool) yang bertampat di Jakarta. (C. Van Dijk, 1983 ; Pinardi, 1964)

Empat tahun ia belajar di NIAS, tahun 1927 SM Kartosuwirjo harus keluar dari sekolah tersebut karena ia dituduh aktif dalam gerakan partai politik (Pinardi, 1964). SM Kartosuwirjo kedapatan memiliki sejumlah buku tentang sosialis dan komunis, padahal sekitar akhir tahun 1926 dan pada awal tahun 1927 kaum sosialis komunis melakukan pemberontakan-pemberontakan yang meresahkan pemerintah Belanda. Hal ini semakin menguatkan dikeluarkannya SM Kartosuwirjo dari NIAS. SM Kartosuwirjo memperoleh buku-buku tersebut dari pamannya yang bernama Marko Kartodikromo. Dia adalah seorang wartawan dan sastrawan yang menjadi salah seorang tokoh Partai Komunis pada waktu itu. (Holk H. Dengel, 1995)

Dari berbagai keterangan mengenai pendidikan SM Kartosuwirjo seperti yang telah diuraikan sebelumnya, nampak adanya ketimpangan atau keanehan. SM Kartosuwirjo sebagai seorang tokoh yang konsisten memperjuangkan berdirinya negara berdasarkan Islam di Indonesia, ternyata jika dilihat dari latar belakang keluarga ataupun pendidikan formalnya tidak menunjukkan kesesuaian. Latar belakang keluarganya adalah keluarga yang biasa-biasa saja bahkan cenderung keluarga yang menghidupkan suasana liberal. Kemudian jika dilihat dari latar belakang pendidikan formal yang pernah ia peroleh, semua lembaga pendidikan tempat ia belajar merupakan lembaga pendidikan milik Belanda yang cenderung sekuler dan netral agama. Tidak ada satupun keterangan yang menyebutkan bahwa SM Kartosuwirjo pernah belajar di sekolah Islam baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pengetahuannya tentang agama khususnya agama Islam terbilang masih sangat kurang, namun ia termasuk seorang yang tekun dan gigih dalam belajar. SM Kartosuwirjo mengenal pengetahuan tantang Islam kebanyakan dari kitab-kitab bahasa asing. Ia mendalami Al Qur’an justru dari kitab-kitab terjemah dalam bahasa Belanda (Pinardi, 1964).

Hasil pendidikan di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler telah membuat SM Kartosuwirjo lemah dalam penguasaan Bahasa Arab, sehingga tidak ada pilihan lain baginya didorong keinginannya yang kuat untuk belajar agama Islam, akhirnya ia belajar dari buku-buku berbahasa asing. Kurang lancarnya SM Kartosuwirjo dalam berbahasa Arab rupanya merupakan rintangan baginya untuk dapat berhubungan langsung dengan hasil karya para pemikir Islam. Bahkan hal ini telah merintangi dirinya untuk naik haji ke Mekah dan mengadakan kunjungan ke pusat-pusat pendidikan di negeri Arab untuk menimba pengetahuan keislaman. (C. Van Dijk, 1983)

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar