Jumat, 21 April 2023

SETETES BENING EMBUN

 

SETETES BENING EMBUN

 


Pagi masih gelap, ketika suara azan bersaut-sautanan, pujian memuliakan sang pencipta semesta alam raya. Rama, nama panggilan Muhammad Ramadhan segera bangun, menyentuh air dingin tuk mensucikan diri. Perlahan kakinyapun menapak selangkah demi selangkah menuju rumah Allah Yang Maha Agung nan megah tak jauh dari rumah tempat dia berlindung. Seperti hari-hari biasanya, tak lebih dari dua baris jamaah terisi. Mungkin karena terlalu nyaman permadani membentang di kamar, begitupun terlalu hangat di peraduan, sehingga begitu berat untuk segera beranjak memenuhi panggilan-Nya. Namun semua itu tak mengurangi suasana khusuk jama’ah kala menunaikan kewajiban-Nya. Sebagai ungkapan rasa syukur yang tiada terkira, atas nikmat-nikmat yang masih bisa dirasakan hingga detik pagi itu yang dingin menusuk.

 Usai sudah kewajiban ditunaikan untuk mengawali hari baru yang penuh harapan. Langkah kaki Rama beranjak menapaki jalan berumput di pagi yang masih redup. Kakipun basah oleh embun yang dingin. Langkahnya terhenti sejenak, badan membungkuk, dan tangan tak sabar menyentuh, membelai butiran-butiran embun nan bening itu. Kedua mata tak berhenti menatap kemurnian tetes-tetes air embun itu. “Biarkan aku puas menatap kemurnianmu, biarkan tangan ini merasakan kesejukanmu, sebelum hilang menguap saat hangat mentari merubahnya menjadi uap, menghilang kembali ke asalmu”, demikian dalam hati Rama berucap.

Begitulah awal permulaan kehidupan. Berasal dari yang suci, murni, tak ternoda sama sekali. Apakah kehadirannya yang tak lama dapat memberi manfaat bagi sesama, seperti embun pagi yang menyejukkan, memuaskan dahaga rerumputan, sebelum rumput-rumput itu terpapar terik mentari seharian. Andaikan dapat rerumputan itu berkata, tentu ia akan berucap ribuan terima kasih pada sang embun nan turun atas izin dari Yang Maha Mulia, yang telah meneteskan air harapan sebagai bekal menjalani hari yang penuh dengan rintangan.

Apakah kehadiran diri ini yang bermula dari yang bersih, suci tiada berdosa akan membawa kesejukan, akan memberikan manfaat bagi sesama, memberikan kontribusi positif bagi lingkungan sekitar? Sebelum kelak akan kembali ke asal, kembali ke sisi Allah Sang Maha Pencipta.

Hangat sinar mentari mulai menyinari tubuh pemuda yang penuh semangat itu. Saat pandangan Rama tak beranjak dari kupu-kupu yang terbang diantara pucuk-pucuk ranting tumbuhan berbunga. Aktifitas alam ini telah dimulai, ketika hewan-hewan telah pergi mencari makan, mengais rizki dari Yang Maha Mencukupi semua makhluk ciptaan-Nya.

Terlihat seekor ulat sedang melahap makanannya, dedauan hijau muda yang masih amat segar kesukaannya. Sambil tak henti memperhatikan, hayalan Rama bertanya pada sang ulat, “Hai ulat, mengapa kau hanya memakan dedaunan? Mengapa tidak kau makan bunga di pucuk itu? Bukankan bunga-bunga itu lebih indah, harum semerbak?” Belum pernah ditemui ada ulat menjadikan bunga sebagai makanannya. Lalu sang ulat menjawab tegas, “Iya makananku kini hanyalah daun, dan aku tak akan pernah memakan bunga-bunga itu, walau kuncup sekalipun, karena bunga-bunga itu akan menjadi makananku kelak, ketika aku sudah berubah menjadi kupu-kupu”.

Sungguh luar biasa kehidupan kupu-kupu, berawal dari kehidupannya yang buruk, dari ulat yang mengerikan bentuknya, dibenci, ditakuti, yang merusak karena memakan dedaunan. Namun ia tetap sabar, istikomah pada jalan hidup yang harus dijalaninya, hingga pada saatnya nanti ia akan berubah menjadi kupu-kupu yang indah, lembut, anggun, dan makanannya pun adalah makanan terbaik berupa nektar madu, sari pati di dalam semerbak harum bunga.

Dapatkah manusia bersabar menjalani takdir-takdir Allah Yang Maha Bijaksana. Menjalani hidup saat ini dengan sabar, berikhtiar, dan bertawakal dengan harapan kelak pada saatnya akan memperoleh balasan terindah, anugerah, dan kemuliaan.

Belum puas memandang kupu-kupu, di atas pepohonan Rama mendapati burung-burung liar bertengger diantara ranting dan dahan. Sungguh ceria mereka pagi itu, kakinya yang mungil tak henti melompat-lompat diantara rimbunnya pepohonan. Suaranya merdu menyanyikan lagu-lagu alam terindah, bersaut-sautan tiada henti menyambut pagi yang penuh harapan. Rama tak henti memuji kebesaran Sang Maha Pencipta atas indahnya pagi itu. Angannya kembali mengucap, “Aku ingin terbang bersamamu wahai sang burung!” Rama lanjut berujar, “Bolehkah aku belajar dari syair-syair merdu suaramu itu, yang tak henti kau dendangkan? Dan syair-syair apakah gerangan yang kau lantunkan itu?”

Rasa ingin tahu Rama begitu memuncak, pertanyaan-pertanyaan terus memburu dalam benaknya. Tentang rahasia alam yang ingin dijadikan sebagai inspirasi dalam hidupnya. Rasanya sudah tak sabar menanti jawaban dari burung-burung mungil di hadapannya. Yang tak henti melantunkan suara indah menyambut pagi nan cerah dan penuh semangat.

Tak disangka, seekor burung mungil berbulu hitam kebiruan, dengan paruh runcing memanjang mendekat tak jauh di hadapan Rama. Kepada Rama sang burung berujar menjawab pertanyaan di benak hati Rama. “Wahai pemuda yang dimuliakan Sang Maha Pencipta, rasa ingin tahumu begitu besar tentang kehidupanku.” Kemudian sang burung melanjutkan, “Jika kau ingin tahu tentang syair-syair dalam nyanyian-nyanyian yang selalu aku dendangkan, saat menyambut pagi yang indah ini, saat siang hingga saat senja sebelum sang mentari terbenam, ketahuilah olehmu bahwa semuanya adalah pujian-pujian kami kepada Allah Yang Maha Mulia, sebagai ungkapan syukur atas anugerah yang tak terhingga. Sejak pagi saat kami masih diberikan kesempatan untuk hidup maka kami lantunkan pujian kepada-Nya, saat siang kami diberikan kecukupan rizki tak lupa kami lantunkan puji-pujian, hingga senja saat menjelang istirahat malam tak henti pula kami memuji kemuliaan-Nya.”

Tak terasa air mata Rama telah menetes di pipinya, merasakan ungkapan burung mungil nan mulia. Terasa tak sebanding dirinya bersanding dengan burung kecil itu dalam memuji dan mengungkapkan syukurnya kepada Sang Khalik. Mereka tak pernah melupakakan berzikir, memuji Allah Yang Maha Suci, sedangkan kebanyakan manusia justru lalai dengan melimpahnya kesenangan di dunia.

Segera Rama memuji Allah Yang Maha Agung, berterimakasih atas kemurahan-Nya kepada hamba-Nya yang selama ini pun telah lalai. Dia yang masih memperkenankan diri melihat pagi yang penuh harapan serta memperkenankan diri ini belajar dari indahnya alam ciptaan-Nya. Alam yang sebenarnya begitu dekat di samping rumah hamba-hambanya, namun selama ini tak pernah terlintas dalam lubuk hati dan pemikiran. Yang seharusnya dapat menjadi inspirasi dan pencerahan dalam menjalani kehidupan yang tak lama di dunia yang fana ini.

 

Ramadhan-Syawal 1444 H.

Teguh Irwanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar