Senin, 19 Desember 2011

Perjalananku

PERJALANANKU

S

uara adzan subuh menggema di cakrawala, membangunkan aku dari mimpi indah. Pagi yang cerah dengan suasana hati berbunga-bunga. Aku mengawali hariku dengan bersujud menyebut asma-Nya. Kicau burung liar, suara ayam memberi nuansa pagi yang ceria di taman hati. Cahaya mentari semakin memudar, menyebar ke seluruh jagat raya, alam raya pun menyambutnya dengan penuh suka cita.

Hari ini aku dan teman-teman akan berkunjung ke kampus UGM untuk mengisi waktu liburan semester yang tinggal satu hari, tentunya aku sangat bahagia. Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar di telingaku, lalu aku keluar rumah untuk melihatnya “De Dwi jadi ikut maen ngga’?” tanya mas Ega. “Jadi mas, tungguin Dede bentar ya?” jawabku.

Dengan semangat dan wajah berseri-seri aku bergegas pergi dan tak lupa meminta izin kepada Ibu dan Bapak, “Bu, Pak Dede ajeng teng Jogja nggeh,” pamitku. “Yo, seng ngati-ati yo ndo, ojo telat maem, ojo lali sholat!,” jawab Ibu dan Bapak. “Njeh, Bu, Pak,” jawabku sambil tersenyum manis. Aku sudah membuat janji dengan temanku yang kuliah di UGM untuk jalan-jalan mengelilingi kampus tersebut.

Sesampainya di sana, temanku mas Budi dan mba Tias sudah menungguku, mereka menyambutku dengan wajah ramah tamah “Assamanu’alaikum De Dwi dan teman-teman, selamat datang di kampus UGM,” sapa mba Tias. “Wa’alaikumsalam sudah lama nunggu ya mba?” tanyaku. “Belum lama kita nunggu kalian, kebetulan kita juga belum sholat, mari kita sholat berjama’ah! Nanti setelah sholat kita mengelilingi kampus, gimana?”, saran mba Tias. “Siipp lah, tapi nanti kita ke perpustakaan dulu ya!” kataku.

Setelah selesai sholat aku dan teman-teman makan siang lalu pergi ke perpustakaan, di sana suasananya sangat nyaman, pokoknya asyik banget dech. Tiba-tiba mas Budi memanggilku “De Dwi mau nga’ nemanin mas Budi,” jawabku.

“Oh ya de, de de sekarang kelas berapa sich? IPA atau IPS?” “De de kelas XI.IPS, kalau mas udah semester berapa?”

“Mas Budi semester 4, kalau menurut de de sekolah untuk apa sich?”

“Untuk ngraih cita-cita, harapan, dan keinginan, kalau menurut mas Budi untuk apa?”

“Yo untuk ngraih cita-cita, untuk mendapatkan ilmu, untuk ngraih ridho-Nya, untuk memanfaatkan waktu dan masih banyak manfaat lainnya, emang cita-cita de de pengen jadi apa sich?”

“De de pengen jadi seorang guru, tapi de de merasa kalau semakin lama sekolah semakin sulit, biaya semakin mahal tapi masa depan belu tentu terjamin.”

“Makanya de de belajar yang rajin, jangan samai ngecewain orang tua dan guru, terus berusaha dan jangan lupa berdoa, Allah tidak akan merubah nasib seseorang kecuali dia sendiri yang merubahnya, de de jangan putus asa ya!”

“De de akan terus berusaha sampai titik darah penghabisan, kalau dipikir-pikir hidup ini berat banget ya? Tiap detik pasti ada aja masalah, rasanya kayak dipenjara.”

“Lho hidup ini kan perjuangan kita menuju ke kehidupan abadi, jadi pasti selalu ada ujian dan cobaan yang harus kita lalui, de … setiap kita berjalan satu langkah maka disitu ada satu hikmah yang harus kita petik, yang berguna untuk kehidupan selanjutnya, pandai-pandailah mengambil hikmah dari setiap kejadian baik atau buruk, kata orang bijak kalau kita pengen masuk surga maka kita harus menganggap dunia ini seperti penjara tapi kalau kita menganggap dunia ini adalah surga maka kita akan masuk neraka.”

“Tapi kenapa terkadang Allah ngasih kita cobaan dan ujian yang begitu berat?”

“Allah ngasih kita cobaan dan ujian, itu karena Allah sangat sayang dengan kita, keluarlah dari ujian dan cobaan itu sebagai pemenang, karena Allah tidak akan ngasih kita cobaan dan ujian melebihi batas kemampuan yang kita miliki.”

“Surga itu dimana ya mas? Kenapa banyak orang berlomba-lomba mendapatkannya?”

“Tidak ada satupun orang yang tahu dimana surga dan neraka itu berada, tapi percayalah bahwa keduanya ada, orang ingin berada di surga karena disanalah kehidupan yang sesungguhnya, disana terdapat kenikmatan dan cinta yang sebenarnya, bukan kepalsuan.”

“Gimana ya cara mendapatkannya?”

“Berusahalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.”

“Kalau ketentraman hati dan ketentraman jiwa ada dimana ya? Akhir-akhir ini de de sering merasa gelisah.”

“Ketentraman hati itu berada dalam sholat dan ketentraman jiwa itu ada di atas cinta, kenapa de de gelisah?”

“Entahlah, seringkali kegelisahan itu menghantui jiwa de de.”

“Beribadahlah untuk Allah karena ibadah orang yang cinta kepada Allah untuk taat dan mencari ridho dari-Nya, akan menghilangkan kegelisahan dan mendatangkan ketentraman bagi orang beriman.”

“De de kemarin baca kalimat yang ada kata tadabur, tafakur, ta’amul, dan muraqabah, artinya apa sich mas, de de bingung kalau baca buku nga’ tau arti katanya.”

“Tadabur artinya perenungan, tafakur artinya pemikiran, ta’amul artinya penghayatan, kalau muraqabah artinya pengawasan.”

“Wah … mas Budi pinter banget yach, bisa jadi kamus berjalan nich buat de de, mas Budi udah punya pacar belum sich? Mas budi pasti setia banget ya sama pacarnya?”

“Biasa aja lagi, pacar belum punya. Cinta, rindu, kesetiaan mas Budi seutuhnya dan seluruhnya hanya untuk-Nya, karena semua bersumber dari-Nya.”

“Mas … ada saran dan kritik nga’ buat de de?”

“Mas Cuma ngingetin, kalu emasmu adalah agamamu, perhiasanmu adalah budi pekertimu, dan hartamu adalah sopan santunmu, maka peliharalah itu semua.

“Terima kasih ya mas Budi yang paling baik, senang bisa ngobrol bareng sama mas Budi, kapan pulang ke Kebumen? Jangan lupa mampir ke rumah de de ya?”

“Mungkin satu atau dua bulan lagi, yo nanti kalau sempet insya Allah mas mampir ke rumah de de, terima kasih ya, de de sudah mau menemani mas Budi menjalani kegiatan satu hari ini, salam buat keluarga semua.”

“Terima kasih juga buat semuanya, nanti salamnya de de sampein ke mereka.”

Waktu berjalan dengan begitu cepat hingga aku tak sadar bahwa mentari mulai merangkak, menenggelamkan cahayanya dari sudut kota. Aku dan teman-teman tidak jadi mengelilingi kampus karena aku hanya punya waktu satu hari untuk liburan dan paginya aku harus sudah ada di rumah. Sesampainya di rumah sekitar jam satu malam, sejenak aku melepas lelah, setelah itu aku mengambil air wudhu lalu bermuhasabah dan bermunajat kepada Allah SWT, saat itu aku merasa sangat hina, begitu besar dosa yang selama ini aku perbuat, puing-puing kesalahan yang selalu menghantui perasaanku, saat itu semua kesedihan bercampur menjadi satu dalam rengkuhan cinta-Nya. Saat terdasar adalah saat yang paling nikmat untuk menyadari betapa besar kasih Allah, betapa mahal harga taubat yang menghapus semua kesalahan.

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar